Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hijrah nabi ke Habasyah.
Apa saja itu?
Pertama: Memilih mempertahankan atau melepas akidah.
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapat kesempatan untuk bisa beribadah dengan baik dan tenang ketika berada di Makkah disebabkan gangguan yang datang dari tokoh-tokoh Quraisy. Hal ini memaksa mereka untuk meninggalkan sanak keluarga dan tanah air, demi sebuah akidah. Jika tidak, maka pilihannya adalah sebaliknya yaitu meninggalkan akidah demi harta keluarga dan tanah air. Akhirnya mereka memilih akidah, mereka memilih meninggalkan kampung halaman dan keluarga, demi menjaga agama mereka. Begitulah kedudukan sebuah akidah, dia berada di atas keluarga, harta, dan negeri.
Kami beri contoh bagaimanakah para sahabat itu mempertahankan akidahnya, walau dipaksa oleh keluarga.
Sa’ad bin Malik radhiyallahu ‘anhu membicarakan tentang ayat berikut ini,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖوَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Ia menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan masalahnya. Ia katakan bahwa ia adalah anak yang sangat berbakti pada ibunya. Ketika ia masuk Islam, ibunya berkata, “Wahai Sa’ad apa lagi perkara baru yang kamu anut?” Ibunya melanjutkan, “Engkau mau tinggalkan agama baru yang kamu anut ataukah ibumu ini tidak makan dan tidak minum sampai meninggal dunia?” Maka ibu Sa’ad terus mencelanya karena keislamannya. Ada yang menegur Sa’ad, “Apa kamu tega mau membunuh ibumu?” Lantas Sa’ad berkata, “Ibuku jangalah lakukan seperti itu. Aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini sama sekali.” Ibu Sa’ad terus berdiam sehari semalam, tanpa makan. Datang keesokan paginya, ibunya terus memaksa Sa’ad. Datang hari berikutnya pun tetap sama, ibunya terus memaksa. Ketika itu Sa’ad melihat keadaan ibunya lantas ia berkata, “Wahai ibu, andai engkau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa tersebut keluar satu per satu, tetap aku tidak akan meninggalkan agamaku sedikit pun juga. Jika mau, silakan makan. Jika mau, silakan tidak makan.” Akhirnya ibunya pun makan. (HR. Thabrani dalam Kitab Al-‘Isyrah. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 11:61 mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Kedua: Ada yang lebih memilih hijrah ke negeri kafir.
Kemudian apa yang pantas dikatakan kepada mereka sekarang yang meninggalkan negerinya untuk berhijrah ke negara-negara kafir atas dasar kekagumannya kepada kemajuan peradabannya (untuk mengais rezeki)? Coba bandingkan antara hijrah mereka dengan hijrah yang dilakukan para sahabat rasul ke negeri Habasyah yang bertujuan mencari tempat yang aman untuk beribadah kepada Allah Ta’ala Bersama sesama muslim, dan untuk membentuk masyarakat yang Islami; hidup berdampingan secara Islam dan lingkungan yang bernuansa Islam.
Ketiga: Sulit beradaptasi dengan lingkungan non-muslim.
Para sahabat Nabi yang berhijrah ke Habasyah itu telah memberikan pelajaran yang berharga kepada kita bahwa seorang muslim tidak mungkin bisa beradaptasi dengan lingkungan masyarakat non-muslim dalam hal-hal yang bertolak belakang dengan agama Islam. Justru semestinya muslimlah yang berupaya membimbing masyarakat non-muslim itu agar menjadi masyarakat yang Islami.
Pelajaran ini juga berlaku pada pergaulan atau majelis pertemuan yang dilakukan oleh orang muslim dan ia menyaksikan kemungkaran di dalamnya. Maka bisa jadi ia mengikuti acara yang ada dan diam saja, sehingga ia harus melakukan upaya adaptasi dengan sesuatu yang bertentangan dengan agama Allah, atau ia menolak dan mengingkari hal tersebut dan jika tidak bisa melakukannya, maka ia keluar meninggalkan tempat pertemuan itu.
Jadi, hijrah sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Habasyah ini telah memberi pelajaran bagaimana sikap kita dalam berinteraksi dengan masyarakat non-muslim, bahkan lebih dari itu di sini terdapat pelajaran tentang sikap yang harus kita lakukan terhadap majelis pertemuan yang berisi kemaksiatan dan kemungkaran.
Prinsip berlepas diri pada non-muslim yang diajarkan dalam Al-Qur’an seperti disebutkan dalam ayat,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Di dalam ayat lain dijelaskan tentang prinsip untuk menjauhi tempat maksiat,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az-zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az-zuur adalah acara yang mengandung maksiat.
Masih berlanjut insya Allah pada pelajaran lainnya dari hijrah ke negeri Habasyah. Semoga Allah mudahkan.
Referensi:
Fikih Sirah Nabawiyah. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com